Widget HTML #1

Biografi Bung Tomo dalam Bahasa Inggris dan Artinya


BIOGRAFI BUNG TOMO - Indonesia tidak pernah kosong dari sejarah orang – orang hebat yang tidak gentar membela tanah air. Mengingat bagaimana Indonesia di jajah oleh beberapa Negara, dikuras habis hasil buminya yang kaya dan tidak diberi kesempatan untuk menimba ilmu. Indonesia tidak hanya terjajah pada kekayaan buminya, namun juga sumber daya mausianya pun dijajah. Bung tomo merupakan salah satu yang berpengaruh di sejarah Indonesia, pejuang yang dikenal sangat religious dan dikenal beegitu vocal menyuarakan hal – hal yang menentang kemakmuran rakyat.

Dengan sifatnya yang begitu kritis, emotionalnya yang terus membara mmebela Negara sutomo tidak berhenti menyuarakan pemberontakan terhadap penjajah kepada seluruh kamu muda Indonesia. Semangat dan pemikiran kritisnya menjadi panutan para pemuda Indonesia yang tidak pernah berhenti berjuang untuk Negara sampai hari ini. Tanpa bunag – buang waktu, mari kita lihat contoh singkat biografi bungtomo dibawah ini:

Biografi Bung Tomo dalam Bahasa Inggris dan Artinya


Sutomo (3 October 1920 – 7 October 1981), also known as Bung Tomo, is best known for his role as an Indonesian military leader during the Indonesian National Revolution against the Netherlands (sutomo lahir pada 3 oktober 1920 dan tutup usia pada 7 oktober 1981, juga dikenal sebagai Bung tomo, dikenal sebagai pemimpin militer Indonesia pada masa revolusi melawan Belanda). He played a central role in Battle of Surabaya when the Dutch attacked the city in October and November 1945 (Dia memiliki peran penting dalam penyerangan yang terjadi di Surabaya melawan Belnada ketika mereka menyerang pada Oktober dan November 1945).

Sutomo was born in Kampung Blauran in the centre of Surabaya to a clerk father (Sutomo lahir di Kampung Blauran di kota Surabaya dari seorang ayah yang berprofesi sebagai juru tulis), Kartawan Tjiptowidjojo, and mother of mixed Javanese, Sundanese and Madurese descent (bernama Kartwan Tjiptowidjojo, dan ibu yang merupakan keturunan Jawa, Sunda dan Madura) . He had received Dutch secondary education before the Japanese occupation (dia mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda sebelum Jepang datang menjajah Indonesia).

Alongside menial jobs, he joined the Indonesian Scouting organisation and at the age of seventeen as the second Pramuka Garuda (bersamaan dengan pekerjaan kasar, dia bergabung dengan organisasi Pramuka dan pada usia 17 tahun menjadi naggota Pramuka Garuda ke-dua); a rank achieved by only three Indonesians before the Japanese occupation during World War II (hanya tiga orang warga Negara Indoensia yang berhasil meraih peringkat sebelum Jepang menguasai sebelum perang dunia II).

During the occupation period he worked for the Dōmei Tsushin in Surabaya (selama masa penjajahan dia bekerja untuk The Domei Tsushin di Surabaya). Sutomo became famous by setting up Radio Pemberontakan (Radio Rebellion) (Sutomo menjadi terkenal karena membangun pemberomtakan lewat Radio), which promoted unity and fighting spirit among the Indonesian pemuda (youth) (yang mana menggalangkan persatuan dan jiwa berjuang dianatara anak – anak muda Indonesia). On 9 June 1947, Sutomo married Sulistina in Malang, East Java (pada 9 Juni 1947, Sutomo menikah dengan Sulistina di Malang, Jawa timur).

He was known as a devoutly religious father of four who took religious knowledge seriously throughout his life (dia dikenal sebagai ayah yang sangat taat bagi 4 orang anak yang mana mempelajari agama dengan sangat serius dalam hidupnya). Before his death, Sutomo managed to finish a draft of his own dissertation on the role of religion in village-level development (sebelum kematiannya, Sutomo berencana untuk menyelesaikan disertasinya sendiri tentang peran agama dalam pembangunan tingkat desa.)

On 7 October 1981, he died in Mecca, Saudi Arabia, during his Hajj pilgrimage (Bungtomo meninggal pada 7 oktober 1981 di Mekah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji). His family and friends had his body returned to Indonesia (keluarga dan kerabatnya membawa jasadnya kembali ke tanah air). Although his reputation and military rank gave him the right to be buried in the Heroes' Cemetery (walaupun reputasi dan semua keunggulannya di militer membuatnya mendapatkan hak untuk dikuburkan di makam pahalawan), he was laid to rest in public burial ground at Ngagel, Surabaya, East Java (Bung tomo dimakamkan di pemakaman umum di Ngagel, Surabaya, Jawa Timur).

During the Japanese occupation, Sutomo was chosen in 1944 as a member of the Japanese-sponsored Gerakan Rakyat Baru (New People's Movement) (selama penjajahan Jepang, Sutomo terpilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru pada tahun 1944). During the early stages of the Indonesian National Revolution he played a central role when Surabaya came under British attack (pada saat awal masa revolusi Indonesia dia memiliki peran penting ketika Surabaya di serang oleh Inggris).

Although the Surabaya city was lost to the British (meskipun Surabaya kalah dari Inggris), the battle served to galvanise Indonesian and international opinion in support of the independence cause (pertempuran itu berhasil menggembleng pendapat Indonesia dan Internasional untuk mendukung kemerdekaan). Sutomo spurred thousands of Indonesians to action with his distinctive, emotional speaking-style of his radio broadcasts (Sutomo berhasil mendorong rakyat Indonesia untuk berjuang dengan keistimewaannya, cara bicaranya dalam siaran radio yang begitu emotional). His "clear, burning eyes, that penetrating, slightly nasal voice, or that hair-raising oratorical style that second only to Sukarno's in its emotional power" (matanya yang bersih dan menyala - nyala. Suaranya yang tajam atau gaya pidatonya yang menempati peringkat kedua setelah Soekarno).

During the Bersiap period (selama masa “Bersiap”), Sutomo encouraged atrocities against Indonesians of mixed European–Asian ancestry and personally supervised the summary executions of hundreds of civilians (Sutomo mendorong kekejaman melawan orang – orang Indoenisa yang berdarah campuran Eropa – Asia dan secara langsung mengawasi eksekusi dari ratusan warga). These are archived eye witness testimony of the events of 22 October 1945 (testimony para saksi mata akan kejadian 22 oktober 1945 sudah diarsipkan).

After the 1950s, Sutomo emerged again as a national figure during the 1965 turbulent period (setelah tahun 1950-an, sutomo kembali muncul sebagai tokoh national selama periode pergolakan pada tahun 1965) . Initially, he supported Suharto to replace the left-leaning Sukarno government (awalnya dia mendukung Suharto untuk menggantikan posisi Soekarno), but later opposed aspects of the New Order regime (namun kemudian menentang ide pemerintahan orde baru). On 11 April 1978, he was detained by the government for his outspoken criticism of corruption and abuses of power (pada 11 April 1978, bung tomo di tahan karena kritiknya yang begitu blak – blakkan menangapi soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan) ; upon his release three years later, however, Sutomo continued to loudly voice his criticisms. (setelah dibebaskan 3 tahun kemudian, Sutomo kemudian tetap melanjutkan menyuarakan kritikannya terhadap pemerintah).

He said that he did not want to be buried in the Heroes' Cemetery because it was full of "fairweather heroes" who had lacked the courage to defend the nation at times of crisis, but when peace came appeared in public to glorify their achievements (bung tomo menolak untuk dikuburkan di makam pahlawan karena (menurutnya) pemakanan tersebut penuh dengan “Fairweather heroe” yang mana tidak cukup berani untuk melindungi Negara saat krisis, namun ketika Negara mulai damai mereka datang muncul ke depan public untuk mengangungkan perjuangan mereka).


Melihat keadaan Indonesia belakanga ini membuat kita kembali mengingat bung tomo, begitu banyak generasi penerus bangsa turun ke jalaan menuntut keadilan dari pneguasa Negri ini. Mereka tidak menyerah meluahkan isi kepala mereka, mengajak pemerintah berdiskusi demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi ke-depannya.

Tidak ada yang salah dari berunjuk rasa dalam menyampaikan pendapat, tetapi tetap harus diingat bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan apapun. Sebagai generasi penerus yang berilmu dan beradab kalian tahu betul bagaimana menyampaikan aspirasi kalian dengan baik. Sampai jumpa di ruang belajar selanjutnya~