Widget HTML #1

Kisah Cerita Nabi Yahya AS dalam Bahasa Inggris dan Artinya


KISAH NABI YAHYA - Nabi Yahya (AS) adalah nabi yang begitu penuh dengan rasa takut kepada Allah, penuh kasih sayang kepada makhluk – makhluk Allah. Tidak pernah sekalipun Yahya (AS) membiarkan dirinya berlarut dalam kesalahan atau melakukan hal – hal yang dilarang Allah. Sama seperti Nabi lainnya, misi Yahya (AS) adalah untuk menyelamatakan umat manusia kembali ke jalan Allah.

Kisah Cerita Nabi Yahya AS dalam Bahasa Inggris dan Artinya

Arabic scholars speculate that the name Yahya came from the root word “Hayaa” meaning life, because he brought life to his mother’s barren womb. It is also said that the name was given because Allah elevated him in the earth with his faith and piety, and to be guided as a messenger. Allah blessed him with plenty of unique qualities that none other possessed. Even as a child, Yahya AS did not fritter his time on silly things. Once, some children invited him to play with them. He replied that they were not created for play. This showed that from an early age, Yahya AS was single minded and serious about his purpose in life, which was to worship and serve Allah (ulama – ulama Arab berspekulasi bahwa nama Yahya datang dari kata “Hayaa” yang berarti hidup, karena Yahya membawa kehidupan untuk rahim ibunya yang mandul. Dan juga dikatakan nama ini diberikan karena Allah memuliakannya di dunia dengan iman dan takwanya, dan menjadi seorang Nabi. Allah memberikannya berbagai kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bahakan ketika masih kanak – kanak, Yahya tidak menghabiskan waktunya dalam hal – hal yang tidak berguna. Suatu ketika, seorang anak mengajaknya bermain. Dia kemudian menjawab bahwa kita tidak tercipta untuk bermain. Hal ini menunjukkan dari usia dini, Yahya merupakan seorang yang memiliki tujuan tunggal dan serius dalam hidupnya, yaitu beriman dan menyembah Allah).

Unlike most other Prophets who received the revelation after they turned forty, Yahya AS was given sacred scriptures from a young age. From childhood, Yahya AS was given the upper hand in religious knowledge and wisdom, which reflected in his righteous qualities: (It was said to his son): “O Yahya! Hold fast the Scripture [the Taurat].” And We gave him wisdom while yet a child. (Al Qur’an 19:12) (tidak seperti para nabi lainnya yang mana menerima wahyu setelah mereka berusia 40an, Yhaya sudah diberikan kitab sejak dia berusia dini. Dari masa kanak – kanaknya, Yahya (AS) sudah lebih dulu diberikan pengetahuan agama dan sifat kearifan, yang mana merefleksikan sifat adilnya: dikatakan kepada anaknya: wahai Yahya! Pelajarilah kitab taurat itu dengan sungguh – sungguh. “ dan kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak – kanak)

Yahya AS was, to his community, the best of characters: calm and deeply compassionate to both humans and animals. He was merciful and tender to everyone, and bore a deep love of all of Allah’s creations. His manner was gentle and tranquil, and he was not quick to anger. He was so pure in behaviour and thought that there was not a single action of his that disobeyed Allah. Even though Prophets and Messengers are allowed to take wives, he did not even desire for the pleasure of a woman’s companionship because he did not want his heart or attention to be occupied by anyone other than Allah. He remained chaste throughout his life (Yahya (AS) adalah seorang yang memiliki karakter yang sangat baik bagi kaumnya; tenang, dan begitu penyayang baik terhadap hewan dan binatang. Dia begitu pemaaf dan lembut kepada siapa saja, dan mencintai semua ciptaan Allah. Sikapnya begitu lembut dan tennag, dan dia tidak mudah marah. Dia begitu polos dan bersikap untuk selalu mematuhi perintah Allah. Walaupun Nabi diperbolehkan untuk memiliki Istri, tetapi Yahya tidak ingin memiliki istri karena dia tidak ingin hati dan perhatiannya di miliki oleh seseorang yang lain selain Allah. Dia memutuskan untuk melajang sepanjang hidupnya).

He refrained from any form of wrongdoing and his behaviour was so spotless that no one in the community could gossip or even speculate about him. He was also a dutiful son, and never once disobeyed his parents. He served and honoured them, being kind, patient and generous even as they became extremely old. In short, his character was flawless, never once transgressing, or showing even any signs of arrogance or disobedience (dia menahan diri dari segala perbuatan buruk dan perilakunya begitu sempurna sehingga tidak ada satupun orang yang dapat menceritakan tentang keburukannya atau bahakan berspekulasi tentangnya. Dia juga merupakan seorang anak yang sangat bertanggung jawab, dan tidak pernah sekalipun membantah orang tuanya. Dia melayani dan patuh terhadap kedua orang tuanya, bersikap baik, sabar dan pemurah bahkan ketika mereka beranjak semakin tua renta. Pendek kata, karakternya sangat sempurna, dan tidak pernah menunjukkan tanda – tanda arogansi atau ketidaktaatan).

Yahya AS used to weep copiously from the fear of Allah, to the extent that his face was etched with the groove of his tears. We are reminded of the Hadith which states that: (Yahya (AS) sering menangis berpekepanjangan karena takut kepada Allah, sampai wajahnya terbentuk aliran air mata. Kita diingatkkan akan hadith yang menjelaskan tentang hal ini)

“Two eyes will not be touched by Hellfire: An eye that cries from the fear of Allah, and an eye that spent the night in a guard post in the path of Allah (Jihad) .” [Tirmidhi] (dua jenis mata yang tidak akan dibakaar dalam api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata penjaga yang berjaga dalam jalan Allah (jihad))

He preferred to spend his days in seclusion, shunning the company of others. He also did not have an ordinary diet, preferring to eat leaves and drink water from the spring. It is said that he was so afraid of depriving birds and animals from their share that he would wait for them to finish first, sometimes even eating their leftovers (Dia lebih memilih menghabiskan hari – harinya dalam pengasingan, menghindari orang banyak. Dia juga tidak memiliki makanan yang dimakan pada umumnya, lebih memilih utnuk makan dedaunan dan minum air dari sumber mata air. Hal ini disebutkan bahwa dia begitu takut akan merampas makanan dari burung – burung dan binatang lainnya karena itu dia harus menunggu mereka makan terlebih dahulu, bahakna terkadnag makan dari makanan sisa mereka).

Yahya AS never owned any property or wealth. In fact, during this time, Bani Israel were accustomed to living in luxury and wearing fine clothing. Yahya AS instead preferred to use the hide and pelt of animals, again demonstrating his surrender, humility, fear and love for Allah (Yahya (AS) tidak pernah memiliki kekayaan dalam bentuk apapun. Sebaliknya, kehidupan Bani Israil pada masa itu begitu mewah dan mereka mengenakan baju – baju yang bagus. Yahya (AS) lebih memilih untuk menggunakan pakaian dari kulit – kulit binatang, hal ini menunjukkan kepasrahan, rendah hati, takut dan cinta kepada Allah).

The Qur’an describes every personality type amongst the believers, on one end of the spectrum, Sulaiman AS had everything he wished for, and on the other hand, Yahya AS owned nothing of dunia. At this point, we need to stop and think where we are. We always attribute our status to the kind of house we live in, what we wear and the type of food we eat, but we disregard that we should live in accordance to what Allah expects of us, rich or poor. The people of Bani Israel loved and respected Yahya AS greatly and his words used to touch their hearts (Al-quran menggambarkan setiap personality dari para umat, dan tidak ada yang sama. Sulaiman (AS) memiliki segala hal yang dia miliki, dan di siis lain, Yahya (AS) tidak memiliki kekayaan di dunia. Pada tiitk ini, kita harus behenti dan berfikir dimana diri kita. Kita selalu menyandangkan diri kita berdasarkan rumah yang kita tempati, apa yang kita pakaai dan makanan yang kita makan, tetapi kita mengabaikan bahwa kita hidup seharusnya berdasarkana keinginan Allah, baik kaya ataupun miskin. Orang – orang Bani Israil sangat menghormati Yahya (AS) dan perkataanya menyentuh perasaan mereka).

Allah commanded Yahya AS with five duties which he was asked to command Bani Israel with. Yahya AS delayed for a while in implementing this command, so he was reproached by Isa AS that if he did not carry out his command, that Isa AS would do it instead (Allah memerintahkan Yahya dengan 5 tugas yang mana digunakan unutk memandu kaum Bani Isrel. Yahya menunda sejenak tugas ini, dia kemudian datang kepada Isa, yang mana dia meminta jika dia tidak dapat memenuhi tugas ini, maka Isalah yang akan memenuhi tugas ini).

In response, Yahya AS gathered the Israelites in Jerusalem and delivered the five commandments, which were to worship none other than Allah without associating Him with any partner, because the similitude is like the one who has bought a slave with the best of his wealth, silver or gold, but the slave started working for others (kemudian Yahya (AS) mengumpulkan semua kaum Bani Israel di Jerussalem dan mengatakan 5 tugas yang diperintahkan Allah, yang mana mereka hanya menyembah Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya dengan lainnya, karena kesamaanya akan seperti seorang yang membawa budak dengan kekayaan, perak atau emas, tetapi budak tersebut bekerja untuk orang lain).

The second was to offer prayers to Allah, and not to allow themselves to be distracted towards other things. The third is of the commandment to fast, as its similitude was that of a man who has a bag of musk among a multitude of people, of whom everyone enjoys its fragrance. The fourth was to give in charity, because the parable is like the one who was captured by an enemy, and they tied his hand up with his neck, and then wanted to behead him (yang kedua adalah berdoa kepada Allah, and tidak membiarkan diri mereka untuk terganggu dengan hal – hal yang lain.. yang ketiga adalah perintah berpuasa, hal ini sama halnya dengan seorang manusia yang memiliki sekantong parfum diantara orang bayak, yang amna harumnya dapat dirasakan oleh orang banyak. Yang ke-empat adalah memberi sedekah/ zakat, hal ini sama seperti seorang manusia yang ditangkap oleh seorang musuh, dan mereka diikat tangannya dengan lehernya, dan kemudian kepalanya dipenggal).

The man at this point would ask his enemy: “Is it possible that I pay ransom and free myself? ” After his captors agreed, the man would pay his ransom with everything he had, until he was freed (seorang tersebut pada saat seperti ini akan bertanya kepada musunya: “apakah bisa aku membayar tebusan untuk membebaskan diri?” setelah musuhnya seteuju. Seseorang tersebut akan membayar tebusan dengan segala hal yang dia miliki sampai dia dibebaskan).

The fifth was the frequent remembrance (zikr) of Allah, the similitude being that of a man whom his enemy had chased out, but he had found a fortified castle and entered it. The man is more protected from his enemy (Shaitan) when he is in Allah’s remembrance (yang kelima adalah berzikir kepada Allah selalu, hal ini sama dengan seorang yang telah dikejar oleh musuhnya, namun dia telah menemukan kastil berbenteng dan memasukinya. Seorang manusia lebih terlindungi dari musuh (syaitan) ketika dia selalu mengingat Allah).



Ketaatan Yahya (AS) kepada Allah (SWT) sebagai pncipta sangat lah besar. Diceritakan bahwa Nabi Yahya selalu menangis karena takut akan dirinya yang mungkin berbuat kesalahan atau mengacuhkan perintah Allah. Cinta yang begitu besar seperti ini seharusnya menjadi renungan bagi kita umat manusia yang sudah semakin dari sang pencipta. Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri seberapa jauh kita takut akan azab Allah? Pernah kah kita menangis mengingat betapa tidak sempurnanya kita mencintai Allah yang selalu mencitai kita apa adanya ?