Widget HTML #1

Contoh Biografi Singkat B.J. Habibie dalam Bahasa Inggris Singkat dan Artinya


BIOGRAFI BJ. HABIEBIE - Habibie adalah president ke-3 Republik Indonesia setelah lengsernya soeharto di tahu 1998 sebelum kemudian Indonesia menetapkan sistem demokrasi dimana rakyat berhak memberi suara pada pemilihan presiden. Habibie dikenal sebagai salah satu anak bangsa yang namanya dikenal dan harus di Jerman sebagai ilmuan berhasil meneliti perihal penanggulangan kehancuran pada badan pesawat. Habibie dikenal sebagai salah satu anak bangsa yang Jenius dan sempat bekerja sama dengan NATO di perusahaan pesawat terbang. Kiprahnya di Jerman membuat harum nama Indonesia dimata dunia. Berikut biografi lengkap Habibie;

Biografi B.J. Habibie dalam Bahasa Inggris dan Artinya


Bacharuddin Jusuf Habibie was born on June 25, 1936 in the sleepy seaside town of Pare Pare in the Indonesian state of South Sulawesi (Bacharuddin Jusuf Habibie lahir pada bulan Juni, 25, 1936 di kota kecil Pare Pare Sulawesi Tengah, Indonesia). The fourth of eight children, he was nicknamed "Rudy" at an early age (anak ke-4 dari delapan bersaudara, dia sering dipanggil dengan nama “Rudy) di usia mudanya). His father, Alwi Abdul Jalil Habibie, was a government agricultural official who promoted the cultivation of cloves and peanuts (Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habiebie, adalah mentri agricultur yang mana memperkenalkan cengkeh dan kacang –kacangngan). His grandfather was a Muslim leader and an affluent landowner (Kakeknya seorang Pemimpin Muslim yang berpengaruh dan merupakan tuan tanah). As a child Habibie liked swimming, reading, singing, riding his father's racehorses, and building model airplanes (dimasa kecilnya dia suka berenang, membaca, bernyanyi, menunggangi kuda sang ayah, dan membangun model pesawat).

In 1950, when Rudy was 13, his father suffered a heart attack and died (tepat di tahun 1950, ketika Rudy berusia 13 tahunnan ayahnya meninggal karena serangan jantung). Suharto, then a young military officer billeted across the street, was present at his father's deathbed and became Habibie's protector and substitute father (Suharto yang saat itu seorang perwira tentara yang ditugaskan di sebrang jalan, datang melayat dan kemudian menjadi pendamping Habiebie serta menjadi ayah angkatnya). Habibie later wrote of Suharto: "I regarded him as an idol, who could serve as an example for all people … a young, taciturn brigade commander, with great humane feelings, and a fierce fighting spirit” (Habiebie kemudian menulis untuk Suharto: “Aku menghormatinya sebagai Idola, yang mana bisa menjadi contoh untuk orang lain.. muda, seorang komandan yang pendiam, dengan rasa kemanusian yang begitu tinggi, dan memiliki jiwa pemberani”). Suharto's autobiography said Habibie "regards me as his own parent. He always asks for my guidance and takes down notes on philosophy” (pada Autobiografinya Suharto mengatakan “Habibie menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Dia selalu bertanya pendapat saya dan selalu mencatat semua hal filosofi). Habibie's interest in building model planes continued while he excelled in science and mathematics at the Bandung Institute of Technology (ketertarikan Habibie dalam membangun sebuah pesawat berlanjut ketika dia unggul dalam bidang sains dan matematik di Perguruan tinggi ITB).

His mother, R.A. Tuti Marini Habibie, arranged for him to continue his studies in Germany (ibunya, R.A. Tuti Marini Habibie, mengatur rencana pendidikan untuk Habibie ke Jerman). At the Technische Hochschule of Aachen, Habibie studied aircraft construction engineering (Di Universitas Technische Hochschule of Aachen, Habibie mempelajari teknik konstruksi pesawat terbang) . In 1962, on a visit home to Indonesia, he married H. Hasri Ainun Besari, a doctor (pada tahun 1962, dalam kunjungannya kembali ke kampung halaman, Habibie menikahi H. Hasri Ainun Besari, seorang dokter). They had two children, Ilham Akbar and Thareq Kemal, both born in Germany (dari pernikahannya mereka di kauniai dua orang Putra, Ilham Akbar da Thareq Kemal, keduanya lahir di Jerman). While Habibie was abroad, Suharto, who had become a general, succeeded General Sukarno as Indonesia's ruler in 1966 (ketika Habibie berada di luar Negri, Suharto yang saat itu telah menjadi presiden setelah presiden Soekarno pada tahun 1966).

After graduating with a doctoral degree from the Aachen Institute in 1965, Habibie joined the aircraft manufacturing firm Messerschmitt-Boelkow-Bluhm, rising to the rank of vice-president (setelah lulus dengan title doctoral dari Universita Aachen pada tahun 1965, Habibie bergabung dengan perusaan pesawat terbang di Messerschmitt-Boelkow-Bluhm, hingga menjadi Vice- President) . As a research scientist and aeronautical engineer, he helped design several planes, including the DO-31, an innovative vertical takeoff and landing craft (sebagai peneliti dan seorang insinyur, dia banyak membantu dalam perancangan pesawat, termasuk DO-31, lepas landas dan pendaratan vertical yang inovatif) . He specialized in solutions for aircraft cracking, gaining the nickname "Mr. Crack" as one of the first scientists to calculate the dynamics of random crack propagation (dia ahli dalam penanggulangan kehancuran pada pesawat, sehingga iya mendapati julukan Mr. Crack sebagai salah satu ilmuan yang berhasil mengkalkulasikan kemungkinan kehancuran yang terjadi pada pesawat).

He also became involved in international aircraft marketing activities and NATO's defense and economic development (dia juga ikut bergabung pada perdagangan pesawatterbang Internasional dan juga pertahan ekonomi NATO). In 1974, Suharto asked Habibie to return to Indonesia to help establish an industrial base (pada tahun 1974, Suharto meminta habibie untuk kembali ke Indonesia untuk membantunya menstabilkan insdutri Indoneisa). Habibie jump-started an aircraft construction industry and a state airline company (Habibie kemudian mulai membangun perusahaan penerbangan dan perusahaan penerbangan milik Negara). Soon he became Suharto's chief advisor for high-technology development (tidak lama setelah itu dia kemudian menjadi kepala penasihat teknologi dalam Negeri).


Bagaimana? Setelah membaca biografi Habibie apakah kamu tertarik untuk menimba ilmu di Jerman juga? Dan menjadi ilmuan seperti beliau? Setiap hal bisa terjadi jika kamu melampaui batas nyaman kamu untuk meraih cita – cita tersebut. Habibie juga tidak mendapatkan gelar ilmuan semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras, disiplin, dan terus berdoa kepada Tuhan yang maha kuasa. Sebagai anak bangsa, kamu wajib mengikuti jejak beliau untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia.